Parenting, … Upaya berkesadaran membangun makna

The secret of change is to focus all of your energy, not on fighting the old but on building the new.
– socrates –

Perjalanan sang putri

Parenting, … menjadi orangtua. “What kind of mom, that I want to be?”
Pertanyaan refleksi yang terngiang di dalam diri, saat masih sendiri, manakala jodoh dan pernikahan belum lagi menghampiri. Pertanyaan yang hadir, kala perjuangan tuk menyelasaikan pendidikan menjadi prioritas. Pertanyaan yang hadir menyapa diri, seakan menyelimuti lapisan dasar motivasi menyelesaikan pendidikan kala itu. Seuntai powerful questioning, hadir bagai nurani yang menyapa, menyentuh nilai-nilai diri, melandasi peran diri dikelak kemudian hari, terangkai dalam perjalanan bersama sang waktu.

Parenting, … eksplorasi berkesadaran level berikut setelah diri. Pembelajaran menjadi orang tua dimulai kala kehamilan disadari. Fase tumbuh kembang janin dalam kandungan, jadi cerita tersendiri sebagai awal perjalanan relasi. Kehadiran manusia yang memiliki peran sebagai anak, manusia yang secara jasmani terangkai dari perpaduan dua manusia, dan terangkai atas dua karakter psikologi serta peran lingkungan, dalam memberikan pengalaman-pengalaman kehidupan yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku.

Perjalanan bersama, orangtua dan anak, bukan sebagai peran atas – bawah, maupun label-label penghakiman sosial lainnya, namun sebagaimana apa adanya. Orang tua sebagai manusia yang hadir lebih dahulu, dengan serangkaian kehidupan dijamannya, dengan anak sebagai manusia yang hadir kemudian yang merupakan perpaduan manusia sebelumnya, dengan serangkaian kehidupan dijaman yang berbeda, tuk bersama mengarungi dengan versi diri masing-masing.

Terlintas sebuah cerita sang putri, yang saat ini sudah duduk dibangku kuliah, dan tinggal jauh dikota yang berbeda, tidak hanya menjalani pendidikan akademi, namun juga lingkungan dan tatanan sosial disekitar sebagai pribadinya sendiri. Sebuah cerita, yang memberi senyum sebagai makna sebuah kesadaran yang dijalani. Suatu peristiwa yang dialami, dan perilaku diri yang disadarinya saat itu. Dengan nada sedikit jengkel, melalui sambungan telepon, berbagi kisah. Jengkel atas perilaku dirinya saat itu, yang dirasakan bereaksi mirip perilaku sang ayah, sementara menurut pemikiran logikanya, akan memberikan hasil yang berbeda seandainya saja perilaku yang muncul saat itu adalah perilaku sang bunda. Kadang-kadang geli juga melihat sesekali perilaku diri hadir pada sang anak, sampai kemudian melebur dan muncul menjadi khas karakteristik dirinya sendiri.

Menjadi orang tua, lebih kepada mawas pada diri, adanya gelombang vibrasi yang tertangkap oleh sang putra/putri. Komunikasi tak melulu dengan untaian kata dari ruang kesadaran pemikiran, namun lebih besar pada unspoken language, untaian sikap dan perilaku yang hadir, disadari dan terekam dalam memori putra/putri.

Menerima atas apa adanya masa lalu, untuk kemudian berproses, hadir utuh pada momen saat ini, menjadi ruang pembelajaran bersama sang waktu. Orang tua bukan sebagai sumber kekuatan tersendiri, yang berarti memberi untuk kemudian menuntut pemberian kembali. Kekuatan hadir bersama, dalam ikatan relasi yang disadari, saling belajar atas peran dan kehadiran diri masing-masing. Dunia sudah jauh berbeda, ruang kesadaran semakin terbuka, manakala diri bersedia untuk hadir menyadari saat ini, momen demi momen.

Self reflection

Foto: Dokumen pribadi perjalanan liburan sang putri.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s